Pendidikan yang baik dan tepat tentunya dapat memberi pengetahuan dan keterampilan sehingga individu terdidik dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan produktivitas serta pemerolehan akses dan sumber daya. Namun, melihat kenyataan dalam penerimaan siswa baru justru menunjukkan ironi atas peran pendidikan dalam memberantas kemiskinan. Dari masing-masing sekolah membarikan harga untuk masuk ke sekolah tersebut. Bahkan terkadang harga itu hanyalah mampu mereka lihat saja tidak berani membayangkan karena besarnya biaya masuk. Hal itu tidak hanya terjadi di tataran universitas saja tetapi dari sekolah paling dasar yaitu taman kanak-kanak. Jangankan untuk sekolah makan sehari-hari saja mereka harus bener-bener memeras keringat.
Pemerintah mulai mencanangkan progran pendidikan gratis pada ting hanya janji ykatan SD dan SMP akan tetapi hanyaa bergema luas saat kampanye dan pemilihan pimpinan daerah maupun pusat. Pendidikan hampir selalu menjadi isu kampanye dan dijadikan strategi pemenangan suara. Namun, saat pemilihan usai lain lagi ceritanya. Anak-anak miskin di perkotaan, pedesaan, dan pedalaman tetap kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak. Di perkotaan, sekolah-sekolah berlomba meningkatkan sarana dan prasarana dengan menaikkan pungutan. Sebaliknya, di pinggiran kota, pedesaan, dan pedalaman, sekolah tidak bisa mengenakan pungutan karena tidak ada lagi yang bisa dipungut dari masyarakat. Dan para siswa harus puas dengan kondisi yang jauh dari layak.
Di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua sering dijumpai satu sekolah hanya dibimbing satu-dua guru. Dalam daftar ada nama sejumlah guru, tetapi mereka tidak hadir di sekolah. Sementara itu, di perkotaan sejumlah sekolah berlomba berstandar internasional dengan sarana dan prasarana mewah dan keluarga kaya tak berkeberatan membayar jutaan rupiah per bulan, keluarga miskin kebingungan mencari sekolah layak yang terjangkau bagi anak-anaknya. Bagi pekerja dengan upah minimum, berbagai biaya pendidikan (uang sumbangan masuk, uang daftar ulang, uang kegiatan, uang ujian, dan lainnya) yang bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah serasa seperti vonis yang mengukuhkan keberadaan mereka dalam jurang kemiskinan. Melihat kenyataan itu pendidikan seolah-olah hanya untuk mereka yang berkantong tebal.
Program terbaru dari pemerintah adalah dan BOS akan tetapi belum semua rakyat miskin merasakan adanya dana tersebut. Dana BOS yang seharusnya diberikan kepada rakyat justru masuk kedalam kantong-kantong para penguasa di negeri ini.Dimanakah hati nuarani mereka? semua sudah ditutup ketika mereka berkuasa baik hati mata fikitan dan telinga mereka. Program BSE pun hanya mampu di nikmati mereka yang ada fasilitasnya. Bagaimana memanfaatkan program itu ?jikia fasilitas dan kemampuan serta keterampilan kesitu tidak ada ujung-ujungnya duit lagi untuk membeli buku pendamping.