Friday, October 30, 2009

PROFIL KITA

WR. SOEPRATMAN

WR. Supratman lahir tanggal 9 Maret 1903 beliau pengarang lagu "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional. Saudara Soepratman berjumlah enam, lima laki-laki dan satu perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudianmelanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang.

Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi.

Sepulang dari Bandung, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kodisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.

Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. ( Iin )

*Sumber : Wikipedia




PERNYATAAN SIKAP TERHADAP REPRESIFITAS APARAT KEPOLISIAN

PERNYATAAN SIKAP

REPRESIFITAS APARAT KEAMANAN DALAM AKSI IMM MALANG MENENTANG KENAIKAN GAJI MENTERI DAN PEJABAT NEGARA MERUPAKAN ANCAMAN BAGI DEMOKRATISASI DI INDONESIA

Tanggal 20 Oktober lalu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2009-2014. Pelantikan tersebut menandai kali kedua SBY berkuasa di Indonesia . Pelantikan tersebut diwarnai dengan berbagai aksi dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa di berbagai daerah. Penyikapan terhadap aksi-aksi menentang pelantikan SBY-Boediono bermacam-macam. Di Solo, misalnya, terjadi penangkapan massa-aksi mahasiswa tanpa prosedur yang jelas. Ironisnya, penangkapan tersebut terjadi ketika kawan-kawan belum menggelar aksi. Konkretnya, aparat keamanan menangkap hanya berdasar asumsi bahwa mahasiswa akan melakukan aksi. Selanjutnya aparat keamanan mengalami kesusahan dalam delik yang akan disangkakan.

Ironisnya, pada awal-awal kekuasaan SBY untuk kali kedua ini, represifitas aparat keamanan dalam menyikapi aksi unjuk rasa kian keras. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa rezim SBY merupakan rezim super body. Kekuasaan yang dibangun berdasarkan hegemoni dengan tidak adanya mekanisme check and balances (oleh rakyat) akan mengerucut pada rezim diktator. Lebih dalam, setelah 11 tahun reformasi yang tejadi sekarang adalah rekonsolidasi kaum Soehartonis dalam panggung politik nasional. Atau dengan kata lain, lahirlah rezim neo-orde baru. Rezim SBY selain identik dengan rezim “keruk cepat, jual murah”, juga dikenal dengan rezim yang anti-kritik.

Penggunaan pendekatan kekerasan pada aksi unjuk rasa merupakan preseden buruk bagi demokratisasi di Indonesia . Selain melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 tentang kebebasan mengemukakan pendapat, represifitas tersebut merupakan tanda dari bangkitnya kekuatan otoritarinisme. Hal inilah yang harus diwaspadai oleh segenap elemen Bangsa Indonesia .

Peristiwa pembubaran aksi kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang dalam menentang kenaikan gaji menteri dan pejabat negara merupakan bukti-konkret tumbuhnya rezim neo-orde baru di Indonesia. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap kawan-kawan IMM Malang sangat disayangkan. Represifitas tertanggal 28 Oktober 2009, atau bertepatan dengan peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda, patut mendapatkan porsi perhatian yang besar dari segenap elemen Bangsa Indonesia.

Dan dengan ini, Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Jawa Tengah periode 2008-2010 menyatakan:

1. Mengutuk keras represifitas aparat keamanan terhadap aksi IMM Malang menentang kenaikan gaji menteri dan pejabat negara,

2. Mendesak agar pelaku kekerasan dapat diproses secara hukum,

3. Mendesak kepada pihak Kepolisian agar menghentikan pendekatan kekerasan dalam menyikapi aksi-aksi unjuk rasa,

4. Menghimbau kepada seluruh Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah se-Jawa Tengah untuk melakukan aksi solidaritas,

Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan banyak terimakasih.

Semarang, 21 Oktober 2009



Tuesday, October 6, 2009

PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru)

PLPG masih ada kaitannya dengan program-program dari pemerintah dalam hal meningkatkan kualitas guru di negara ini.PLPG bisa dikatakan program lanjutan dari sertifikasi.PLPG ini ditujukan kepada guru-guru yang tidak lulus sertifikasi. Untuk pelaksanaan PLPG ini dari pemerintah memberikan kepercayaan kepada suatu universitas untuk menjalankan program ini. DI surakarta sendiri ada dua universitas yaitu UNS dan UMS. Ada kebanggan tersendiri bagi universitas yang dipercaya oleh pemerintah karena dianggap mampu menjalankan program ini.
Di UMS sendiri PLPG dilaksanakan dan bertempat di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)